22 Juni 2009

Hati.... hati... hati....

Jika ada kader dakwah merasakan kekeringan ruhiyah, kegersangan ukhuwah, kekerasan hati, hasad, perselisihan, friksi, dan perbedaan pendapat yang mengarah ke permusuhan, berarti ada masalah besar dalam tubuh mereka. Dan itu tidak boleh dibiarkan. Butuh solusi tepat dan segera.

Jika merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan menemukan pangkal masalahnya, yaitu hati yang rusak karena kecenderungan pada syahwat. “Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Al-Hajj: 46). Rasulullah saw. bersabda, “Ingatlah bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka seluruh tubuhnya baik; dan jika buruk maka seluruhnya buruk. Ingatlah bahwa segumpul daging itu adalah hati.” (Muttafaqun ‘alaihi). Imam Al-Ghazali pernah ditanya, “Apa mungkin para ulama (para dai) saling berselisih?” Ia menjawab,” Mereka akan berselisih jika masuk pada kepentingan dunia.”

Karena itu, pengobatan hati harus lebih diprioritaskan dari pengobatan fisik. Hati adalah pangkal segala kebaikan dan keburukan. Dan obat hati yang paling mujarab hanya ada dalam satu kata ini: ikhlas.

Kedudukan Ikhlas

Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”

Tatkala Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.” Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”

Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang paling benar). Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga, amal itu harus ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.” Pendapat Fudhail ini disandarkan pada firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat 110.

Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”

Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”

Makna Ikhlas

Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.

Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.

Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.

Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.” Dai yang berkarakter seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu Ghayaatunaa‘, Allah tujuan kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya.

Buruknya Riya

Makna riya adalah seorang muslim memperlihatkan amalnya pada manusia dengan harapan mendapat posisi, kedudukan, pujian, dan segala bentuk keduniaan lainnya. Riya merupakan sifat atau ciri khas orang-orang munafik. Disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat 142, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”

Riya juga merupakan salah satu cabang dari kemusyrikan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti pada kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Riya. Allah berkata di hari kiamat ketika membalas amal-amal hamba-Nya, ‘Pergilah pada yang kamu berbuat riya di dunia dan perhatikanlah, apakah kamu mendapatkan balasannya?’” (HR Ahmad).

Dan orang yang berbuat riya pasti mendapat hukuman dari Allah swt. Orang-orang yang telah melakukan amal-amal terbaik, apakah itu mujahid, ustadz, dan orang yang senantiasa berinfak, semuanya diseret ke neraka karena amal mereka tidak ikhlas kepada Allah. Kata Rasulullah saw., “Siapa yang menuntut ilmu, dan tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan perhiasan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan wangi-wangi surga di hari akhir.” (HR Abu Dawud)

Ciri Orang Yang Ikhlas

Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat, diantaranya:

1. Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”

Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad.

Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam cirinya. Di antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”

2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)

Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.

3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.

Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.

by: dakwatuna

10 Mei 2009

Satu kata buat yang tersayang...

Haha, bentar dulu sist jangan pake salah tafsir dulu. Ni judul sengaja dibuat karena diri ini sedang teringat sesuatu. Ada satu sosok yang sedang aku kangeni, ukh... siapakah orang yang beruntung itu. Yang jelas, dia sangat membuat diri ini punya banyak perasangka. Dari rasa senang, kesel, ogah, sebel, mutung, ngambek, sayang, kangen, rindu. Cie... nano-nano gitu deh.
Khem, ia nih, sedang kangen dengan yang jauh disana. ho are u, prend? Sudah berapa juz yang kau hafal sekarang? Sudah berapa ayat yang kau sampaikan ke ummat yang sedang haus ilmu ini. Sudah berapa kader yang kau rekrut? Yang kau bina? Yang kau jadikan sebagai penggantimu untuk senantiasa menyeru kepada agamaNya, berjanji untuk bertemu kembali di surgaNya. Menatap wajahNya, bercerita tentang kisah perjuanganmu untuk bertemu denganNya pada akhirnya. Subhanallah...
Prend, satu kata yang kuingat selalu darimu “Ukh, semoga kita senantiasa menjadi sahabat ya... apapun kondisi kita, baik senang maupun susah, baik sedih maupun duka, baik sedang ngambek maupun baikan, baik ndak ada duit maupun lagi berduit. Haha... semoga kita senantiasa saling mengingatkan dan berlomba2 untuk meraih jannahNya, bertemu menatap wajahNya, dan tersenyum bersama sebagai hamba yang beruntung karena telah mengikuti jalan dakwah ini. Ukhti, jadilah orang yang memberi, memberi lebih, memberi yang terbaik dari apa yang kita punya. Berikan senyuman manismu dipagi hari sebagai penebus kesalahan kita untuk siang hari, berikan amalan2 dakwah yang kau amalkan disiang hari, untuk menghadapNya dimalam hari, berkhalwat ditengah malam bersamaNya, cerita tentangmu padaNya, selalu tanpa kecuali. Ukhti, surga itu memang manis, oleh karena itu raihlah ia dengan amalan2 termanis yang kita punya. Amalan yang tidak hanya kita lakukan untuk mengharap pujian dari manusia, tapi hanya mengharap dirinya untuk Ridho kepada kita.
Emang kata-kata temenku itu biasa aja si, ndak ada istimewanya bahkan. Untuk sosok diriku yang memang dulu sudah ogah-ogahan mendengar ocehannya. Tapi entah kenapa, kau selalu bersikap baik padaku, meski aku tidak mau untuk mendekatimu, apalagi mengenalmu. Kau sekarang lagi dimana, prend? Masih sibuk dengan segudang amanah dakwah ya? Semoga Allah senantiasa memberikan yang terbaik untukmu.
Ada satu permainan yang aku selalu ingat darimu, yaitu permainan coba-coba. baik dari hal kecil mpe yang besar, semuanya maen coba-coba. walhasil apa? haha.. ndak ada yang bagus, apalagi baik. Ipmu aja yadi biasa-biasa saja. Kaderpun jadi suka kabur gitu.
Tapi, satu kata untukmu wahai saudariku, “kau tetaplah sidik, meski namamu, tidak lagi sidik.” Yang akan tetap sidik, meski diriku tidak mau bersikap sidik. Yang akan tetap sidik, meski yang lain tidak sidik. Karena kau adalah sidik yang selalu berkata sidik, tanpa ada kebohongan belaka.

Apa kabar hati? Apakah ia masih sebening embun pagi hari?

Malam ini hujan begitu cantik, turun dari singgasananya yang penuh dengan kasih sayang, kasih sayang untuk menurunkan sebagian titik-titik air ke bumi yang sudah terhina oleh manusia ini. Tapi diriku, hatiku? Entah sedang berkelana kemana. Yang pasti, hujan ini begitu setia menemaniku berjalan pulang ke asrama, indah memang, bahkan mengasyikkan sekali ditemani oleh salah satu hasil penciptaanNya yang begitu menyejukkan hati. Sejuk, dingin, tapi sungguh hati ini sangat menikmatinya. Terbersit sebuah lagu yang sering aku dengar dengan teman halaqohku, hmm... hujan begini memang cocoknya dibarengi dilatarkan kita sedang berkumpul dengan orang yang kita sayangi, kita cintai, kita kasihi, atau bahkan sedang kajian bareng, pasti seru deh... semakin tambah konsentrasinya kita pada topik yang dikaji oleh ustadz. Atau malah semakin serunya kita mengobrol dengan teman sebelah? Hmm, patut di evaluasi neh...
Hmmm, kaifa haluk hati? Hehe, diri ini mencoba untuk menetralkan hati ini, mencoba untuk memutihkannya kembali, menyehatkannya kembali, membersihkannya kembali dari serpihan-serpihan kotor, dari penyakit-penyakit kecil yang mungkin akan membahayakan hati ini sehingga tidak masuk kedalam JannahNya.
Kaifa haluk hati? Hmmm, pertanyaan itu kembali kuberanikan untuk kutanyakan dalam diri ini. Apa kau sedang sakit? Atau sedang sekarat? Atau sedang merindukan sesuatu? atau sedang gamang, tak menentu.
Kaifa haluk hatiku? Hujan ini seharusnya mampu membuat jasad ini menjawab pertanyaan itu dengan mudah dan lebih cepat. Hmm, daku hanya bisa tersenyum, berjalan menunduk mencoba untuk memaknai setiap udara yang masuk kedalam paru-paru ini, mencoba untuk kembali menata hati ini agar terbiasa jujur dengan diri sendiri. Kaifa haluk hatimu, ukh? Apakah ia masih sebening embun pagi ini??

Untukmu Saudaraku... Dari Hatiku, untuk Surga yang akan kau lihat, beberapa detik lagi. Amin...

Ternyata takdir itu hanya Dirinya yang tahu, manusia mana sih yang akan tahu kapan dia meninggal? Manusia mana sih yang tahu dirinya bakalan tenggelam. Hmm, satu hal yang musti diambil pelajarannya ukh, takdir itu berlaku untuk siapa saja, Allah tidak akan memandang siapa diri anti. Allah nda memandang anti sebagai anak UGM, Allah juga tidak memandang apakah anti anak pak kiai, atau anak presiden. Semuanya akan mendapatkan takdir itu, tanpa terkecuali
Malam ini satu mujahid dipanggil olehNya. Aku hanya bisa terdiam, sesekali mencoba untuk memaknai apa yang sedang Allah rencanakan padaku lewat kejadian-kejadian yang terjadi disekitarku. Iya, ternyata satu mujahid sudah terpanggil olehNya, aku merasa dia masih disini, berjuang bersama diriku dan teman-teman yang lain di kampus biru yang penuh teka-teki.
Apa kabar saudaraku? Meski diriku tidak mengenalmu dengan baik, tapi entah kenapa diriku merasa dekat denganmu. Aku disini hanya bisa berdo’a dan mencoba mengambil pelajaran dari apa yang terjadi denganmu, dan hikmah dari kehidupanmu.
Untukmu saudaraku, aku hanya bisa mendoakan dari hati. Entahlah, semoga ini menjadikan dirimu melihat surgaNya dengan tidak lama lagi.

28 April 2009

Sahabat

Sobat...
Duduklah, nikmatilah setiap hembus tali nafas perjuangan ini.
Rasakanlah setiap langkahnya, mengayun kebersamaan.
Dengarlah degup tapaknya, menyayat hati.
Sobat...
Kereta dakwah itu kian mendekat. Sambutlah ia, sobat
Jadilah penumpang pilihannya. Pemegang tongkat kebangkitan
Sobat...
Detik ini...
Tiada lama lagi..

Penuh Makna

Kemarin aku melihatmu sendiri, termenung duduk menerawang diangkasa yang penuh awan putih menggumpal. Kau tidak bicara sedikitpun, bahkan menoleh untuk memastikan keberadaanku yang sekarang ada disampingmu juga tidak. Kau hanya terdiam, kemudian menutup matamu perlahan, aku hanya bisa menatapmu sobat. Penuh tanda tanya, akankah Dika yang dulu akan hadir lagi disini, kembali menjadi sosok penuh inspirasi. Menjadi wujud yang tatapan dan tingkah lakunya penuh makna.
Jujur saja, diriku merindukan sosokmu yang dulu. Menikmatimu dalam keadaan merindu Kekasih. Membayangkan seandainya kita bersama akan menatap diriNya.
Tapi, ada yang berbeda denganmu sobat, tertutupnya matamu tidak lagi diakhiri dengan senyuman. Bahkan, ada hal lain, ada benda lain, yang menghiasi wajahmu. Dika, kau baik2 saja kan? Butiran bening itu perlahan menghiasi pipimu. Berlomba untuk segera menuruni tebing pipi yang terbentuk oleh rahang yang kokoh. Kuhitung berapa lamanya waktu kau seperti itu. Langit Gadjah Mada begitu cerah sobat, makanya kita disini. Berputar bersama, melakukan kegiatan di pagi ini dengan senyuman yang inah penuh makna, tapi kenapa? Butiran bening itu berkumpul di tengah pipimu, karena dirimu masih tetap menengadah menutup mata ke angkasa biru sana.
Aku berusaha untuk tetap diam. Aku juga perlahan menengok langit biru itu, mencoba untuk melakukan apa yang kau lakukan. Mencoba untuk merasakan apa yang kau rasakan. Mencoba untuk menjadi dirimu saat ini. Dalam kesunyian gedung Sabha Pramana ini, perlahan aku mendengar kau mengucapkan sesuatu. “Nay, aku percaya kalau aku bisa melupakannya, aku pasti bisa menjadi sosok pribadi yang jauh lebih baik dari hari ini. Dari bulan ini, dari detik ini. Aku percaya aku sanggup. Aku bisa, aku bisa... Jazakillah ukhti...” katanya sambil menyeka butiran bening tersebut. Aku hanya ikut tersenyum, sambil mencoba mengikuti alur berfikirmu untuk menyelesaikan masalahmu itu. OK!! Sekarang sepertinya sudah selesai.
Sipp!! Alhamdulillah....

Luruskan Niat...

“Sesungguhnya diterimanya amal dan perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dna sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan RasulNya, maka hijrahnya akan diterima sebagai hijrah karena Allah dan RasulNya. Barangsiapa berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang hendak dinikahinya, maka ia akan mendapatkan apa yang ia tuju (HR Bukhari Muslim)
Sebuah keniscayaan, kalau niat itu adalah induk dari diterimanya sebuah amal. Dia adalah penentu, apakah amal seseorang itu akan diterima atau tidak. Apakah tujuannya baik atau buruk, berbalas surga ataukah neraka. Karena, niat merupakan pengarah amal kita, dialah yang menentukan bentuknya sebuah amal, bobot sebuah amal, dan jenis sebuah amal. Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Dan amal itu sendiri mengikuti niatnya. Amal akan benar jika niatnya benar, dan amal akan rusak jika niatnya rusak. Oleh karena itu wahai saudariku, sering-seringlah meluruskan niat kita. kalaulah bengkok diawal, bisa kita benahi di tengah, atau di akhir. Yang pasti, kita harus senantiasa meluruskannya.
Pastikan, apapun yang antum lakukan berdasarkan niat yang sudah terpatri di hati ini, bukan karena ikut-ikutan teman, ataupun bukan juga karena merasa tidak enak dengan orang lain. Tapi harus berdasarkan niat. Ketika kita akan melaksanakan sesuatu yang sederhana misalkan, tetapi ketika kita meniatkan itu adalah untuk ibadah, Insya Allah itu akan menjadi suatu nilai lebih, yang tentunya hanya Allah yang akan membalasnya.
Pastikan juga, niatkan diri kita dengan hal-hal yang baik. Jangan sekali-kali meniatkan diri kita untuk berbuat jahat yang merugikan diri dan orang lain. Kenapa? Selain kita dapat pahala dari Allah, itu pun akan memupuk rasa husnudzhon kita terhadap saudara, rasa kasih kita terhadap Allah dan sesama manusia, dan rasa tenang yang berefek dalam diri ini. Kita akan diberi pahala ketika kita meniatkan diawal untuk melakukan hal yang baik, dan ketika kita melaksanakannya, Allah akan melipat gandakan hal itu. Tetapi, ketika kita mempunyai niat untuk berbuat jahat, Allah belum mencatat dosa dari niat jahatnya tersebut. Para malaikatpun bahkan berdoa memohon kepada Allah agar kita menggugurkan niat jelek kita itu. Subhanallah, Allah memang begitu sayang dengan kita.
Yakinkan diri kita berniat baik, dan semua itu hanya mengharap ridhoNya, bukan yang lain. OK? Sip.. semangat ya, luruskan niat...